Dari kecil, Tino senang sekali
makan bakso. Olahan daging sapi berbentuk bulat yang dilengkapi dengan gorengan,
tahu, siomay, mie su’un, ditambah kuah yang gurih dan taburan bawang goring serta
daun bawang diatasnya. Sungguh nikmat sekali. Sayangnya harga daging sapi
terlalu mahal untuknya. Bahkan harga 200 perak semangkuk dirasa terlalu mahal
untuknya.
“abang tukang bakso mari mari
sini aku mau beli…”
Alunan lagu dari penyanyi cilik
itu membuyarkan konsentrasi Tino. Gerakan tangannya terhenti seketika. Ia menoleh
ke arah suara yang ternyata berasal dari radio salah satu pedagang asongan di
sekitar terminal.
“sudah selesai, dik ?” Tanya bapak-bapak
yang sepatunya disemir oleh Tino. Ia kembali sadar dengan realita.
“sebentar lagi, pak,” katanya
lalu kembali memoles sepatu kulit buaya.
Ting ting ting ! Suara denting
sendok yang dipukulkan ke mangkuk memecah suasana.
“Baksooo baksoooo …!”
Ah, itu suara cak Min, tukang
bakso yang berjualan di sekitar terminal. Perut Tino langsung berbunyi. Sial, piker
Tino dalam hati, kenapa harus berbunyi saat ia sedang menyemir ? sabarlah
perut, hasil dari menyemir sepatu ini akan ku tabung agar bisa membeli
semangkuk bakso. Uang yang terkumpul baru seratus lima puluh perak. Ongkos menyemir
sepatu hanya dua puluh lima perak. Ditambah yang ini, maka ia hanya perlu
menyemir sepasang sepatu lagi.
“sudah, pak.” Kata Tino
sambilmengelap keringat. Tuan pemilik sepatu kulit buaya itu terlihat puas. Ia menyerahkan
satu koin uang perak. Lima puluh rupiah.
“pak, saya tidak punya
kembaliannya...”
“sudah, ambil saja. Ditabung untuk
membeli barang yang kamu mau.”
Tino tersenyum sumringah. Ia langsung
berlari kearah cak Min, seolah takut kehabisan bakso. Dengan nafas tersengal, ia mengeluarkan recehan sejumlah 200 perak
pas. Cekatan, cak Min menyajikan tiga buah bakso, dua gorengan, satu tahu, dan
satu siomay. Tak lupa kuah dengan taburan bawang goring dan daun bawang
diatasnya.
Dengan hati-hati, Tino membawa
mangkuk itu menuju kursi terdekat. Tak sabar untuk segera mencicipi olahan
daging berbentuk bulat yang terlihat sangat menggiurkan. Tapi rupanya Tino
kurang berhati-hati. Ia menyenggol bahu seseorang saat akan berbalik mencari kursi.
Kuah panas itu tumpah mengenai baju orang itu. Sontak orang itu kaget dan
tangannya menyibak mangkuk bakso Tino hingga jatuh dan isinya tumpah ke tanah.
“Gimana sih ? kalo jalan itu yang
benar! Baju saya kotor kena kuah bakso! Mana panas lagi ! dasar anak sialan!”
PLAKK, sebuah tamparan mendarat di pipi Tino. Martanya berkaca-kaca. Rasa panas
di pipinya tidak seberapa disbanding panas hatinya melihat bakso daging itu
menggelinding di tanah lalu penyet terinjak orang yang lalu lalang. 200 perak
usahanya menyemir sepatu terbuang sia-sia.
***
Tino menitikkan air mata
mengingat kejadian 48 tahun yang lalu saat usianya masih tujuh tahun. Bakso selalu
menjadi makanan favoritnya, meskipun harganya saat ini sudah mencapai sepuluh ribu
perak. Dan karena bakso, hari ini ia berada di pesawat dalam penerbangan
pribadi menuju tanah airnya.
“Selamat datang saya ucapkan
kepada Prof. Dr. Ir. Tino Karno, M.Agr, PHd…..” suara lembut seorang penyiar
menyambut kedatangan Tino ke sebuah gedung megah. Hari ini ia diundang sebagai
bintang tamu sebuah seminar Internasional. Yang lebih special lagi, seminar ini
juga dihadiri oleh Ibu Negara, yang juga sahabat dekatnya saat kuliah dulu.
Hampir satu jam lamanya Tino
memberikan ceramah yang disambut meriah. Tentang ide-idenya dalam pengembangan
pertanian di negaranya yang merupakan Negara agraris. Dan tibalah saatnya makan
siang.
“Selamat siang,” suara ibu Negara
menggema di udara. “hari ini merupakan hari yang amat sesial bagi saya. Selain karena
seminar ini sangat sukses, juga karena pembicara di seminar ini mau memenuhi
undangan pribadi saya untuk datang kesini…” ruangan hening seketika. Semua mata
tertuju pada ibu Negara. Tapi ibu Negara hanya menatap satu orang. Tino.
“Prof Tino, seperti yang anda
ketahui, adalah seorang professor hebat di bidang pertanian, yang sampai saat
ini masih asyik mengembangkan penelitiannya di luar negeri. Ia selalu haus akan
ilmu. Namun, sebagai sahabat baiknya semasa kuliah, saya tau ada satu hal yang
belum bisa menghapus dahaganya. Ia merindukan….. BAKSO,” hadirin tertawa
singkat. Bagaimana mungkin seorang professor merindukan bakso ?
“sebagai seorang sahabat, saya
tahu Prof Tino mengalami masa kecil yang sulit. Butuh usaha keras untuk
mendapatkan semangkuk bakso seharga dua ratus perak. Mungkin kebanyakan dari
anda sudah mengetahui bahwa Prof Tino dulunya pernah menyemir sepatu hanya
untuk membeli semangkuk bakso. Tapi saya yakin tidak banyak dari anda yang tau
bahwa Prof Tino teramat sakit hati dengan bakso. Saat bakso yang dibelinya
menggelinding dan terinjak oleh orang yang berlalu lalang.” Hadirin kembali
tertawa. Lucu bagi mereka membayangkan seorang professor marah hanya karena
baksonya jatuh dan terinjak.
“Anda perlu tahu, bahwa karena
baksonya yang jatuh dan terinjak, Prof Tino sakit hati dan balik mendamprat
orang yang sudah menyenggolnya dan mebuat baksonya jatuh. Ia marah dan meraung
layaknya bocah berumur tujuh tahun. Kontan orang itu kaget. Dalam raungnya,
Prof Tino tidak menyadari yang ia hadapi adalah seorang Guru Besar yang
terburu-buru menghadiri seminar, seperti beliau saat ini,
Cerita selanjutnya, pasti anda
sudah tau benar. Guru Besar yang mengambil prof Tino sebagai anak angkat dan
mendidik Prof Tino hingga jadi seperti ini. Kisah prof Tino, anak terminal yang
jadi professor sudah melegenda. Hanya saja, tidak banyak yang tahu kisah bakso
terinjak dibalik kesuksesan Prof Tino,”
Hadirin diam dan mulai menatap
Tino. Ia terkesiap. Ingatan di masa lalunya yang kembali hadir lagi. Si penabrak
yang menamparnya, yang saat itu dikutuk dan dibencinya setengah mati, pada
akhirnya jadi penyelamat hidupnya. Yang mengentasnya dari kehidupan penyemir
terminal. Yang membuatnya bisa membeli sepatu kulit buaya seperti tuan yang
pernah memberinya limapuluh perak. Yang membuatnya mampu membeli lima puluh
mangkuk bakso sekaligus saat ini. Tino menangis. Terharu.
“Dan special untuk Prof Tino,
sahabat saya, silahkan menikmati hidangan bakso special dari saya…”
Tepuk tangan amat meriah saat
seorang pramusaji menyajikan semangkuk bakso untuk Tino. Ia hanya tersenyum. Di
usianya yang setua ini, tentu saja ia sudah teramat sering mencicipi bakso. Dengan
gelarnya yang lebih panjang dari kereta api, bakso kelas bintang lima pun
pernah dikecapnya.
Sambil menyendok sebuah bakso, ia
kembali terngiang. Dari semua bakso itu, hanya satu yang ia rindukan. Dan HAP !
bakso bersarang dimulutnya. Ia menangis seketika. Ya, inilah yang
dirindukannya, bakso inilah yang selalu diinginkannya. Ia tidak butuh bakso
dengan rasa bintang lima. Ia hanya ingin bakso ini. Bakso dari masa kecilnya. Bakso
Cak Min.
Rupanya, setinggi apapun gelar
seseorang, semuanya akan kembali pada gelar yang sama. Tino meninggal
sepulangnya ia dari seminar. Saat ini gelarnya sama seperti Cak Min. Almarhum. Di
nisannya hanya ada nama Tino Karno. Tanpa Prof dan PHd yang selalu menjadi
kebanggaan semua orang. Namun seperti satu hal yang selalu diingatnya, bakso
cak Min kini menjadi sebuah legenda, membuat anak cucu cak Min menjadi kaya
raya, karena sebuah kedai yang sepenuhnya didanai oleh Tino.
“BAKSO PROFESOR, yang makan pasti
jadi pintar !”