Minggu, 08 Desember 2013

wanita gypsy dan api dalam amukan badai


Hujan deras beserta angin kencang mengetuk tiap pintu dan jendela. Ditambah kilatan petir dan suara guntur yang memekakkan telinga. Lalu tiba-tiba semua gelap. Mati lampu. Wanita gypsy itu beranjak dari dipan, menuju balkon. Ia membuka pintu separuh lalu menengadah ke langit. Merah. Adakah yang lebih baik dari terjebak badai sendirian dalam rumah di malam hari tanpa listrik ?

Wanita gypsy itu menutup pintu separuh lalu kembali kedalam. Menyalakan lilin di pelataran lalu tiduran di atas dipan. Hujan masih deras. Angin masih kencang. Dan petir masih menggelegar. Hingga aku menyadari wanita gypsy itu adalah aku.

Sesosok bayangan menjulang tinggi berusaha melewati pintu. Aku terkesiap. Dalam balutan rok panjang, baju berbahu rendah dan ikat kepala, aku mencengkram cawan lilin lebih erat. Jika aku memang gypsy, pastilah aku terbiasa menghadapi makhluk halus.

Bayangan itu kini bediri tepat didepanku. Siluetnya membentuk sebuah sosok yang aku kenal. Petir menyambar, memberikan sedikit cahaya. Aku terperangah, ya, itu memang sosok yang aku kenal.

"Hey nona," sapanya. "Kau baik baik saja ?"
"Ya tentu saja aku baik. Ada apa ? Mengapa kemari saat badai ?"
"Aku mengkhawatirkanmu. Dalam badai dan lampu mati seperti ini kau malah sendiri. Aku harus pastikan kau baik baik saja."

Aku tersenyum. Mempersilahkannya masuk dan duduk.

"Aku tak apa. Masih ada cahaya lilin yang menerangi gelapku."
"Lilin itu redup."
"Tidak. Cahayanya memang kecil. Tapi ia menerangi kegelapan."

Dia terkekeh lalu ambruk.

"Aku lelah," katanya. "Aku ingin istirahat. Sejenak saja."
"Ya. Tidurlah. Berhentilah menjadi lilin. menerangi kegelapan disekitarmu, tapi menghabisi diri sendiri."

Ia lalu memelukku. Erat. Tak lupa ia mencium keningku. Menyandarkan kepalaku pada dadanya yang bidang.

"Tidurlah. Istirahatlah. Walaupun hanya sekedar singgah."

Tak lama pelukan itu mengendur.

"Aku harus pergi."
"Lagi ? Tapi, diluar badai belum reda."
"Masih banyak yang membutuhkanku. Kau sudah tak apa kan ?"

Ia sudah berada di ambang pintu. Bersiap meninggalkanku. Dan ekspressi wajahnya memastikan jawaban dariku.

"Aku tak papa. Aku akan selalu baik baik saja."

Dia tersenyum lega lalu pergi. Sorot matanya yang kelelahan, seperti lilin yang menyala remang. Dia menghabisi dirinya sendiri, tapi bahagia bisa menerangi kegelapan disekitarnya.

Lilin itu kini padam. Api membakar habis tubuhnya. Menyisakan kegelapan. Dan aku kembali sendirian.

Maka aku, si wanita gypsy, menyalakan api di perapian. Lebih terang dan menghangatkan. Lalu sesosok bayangan kembali muncul dari ambang pintu. Ia berjalan pincang ke arahku.

Petir kembali menyambar menampilkan sosok yang rupanya sangat aku kenal. Ia basah kuyup dan berjalan tertatih. Aku menghampirinya, memapahnya untuk bangkit. Ia ambruk di tempat yang sama, meskipun ia org yang berbeda.

"Ndaa," rintihnya. "Aku sakit..."
"Kamu kenapa ?"
"Aku kena traktor tadi"

Ia menunjukkan kakinya. Bolong. Seperti ditusuk jarum, namun membentuk suatu pola. Bolong bolong. Tidak hanya di satu sisi, namun membentuk garis vertikal di sepanjang tulang kering. Bolong bolong. Memperlihatkan daging dan tulangnya. Bolong bolong. Rasanya pasti sangat menyakitkan.

"Perusahaan mu harus membayar luka ini !" Kataku geram. Tak tega melihatnya terluka.
"Sudah ndaa, biar saja. Ini kesalahanku karna tak mengoperasikan traktor dengan baik."
"Tapi kamu terluka parah !"
"Tolong sembuhkan lukaku..."

Aku mengambil beberapa daun. Entah sejak kapan aku mengerti pengobatan tradisional. Mungkin karna aku wanita gypsy sekarang. Lalu aku meratakannya pada bagian yang terluka. Menyumbat semua bolong bolong di kakinya. Ia meringis pelan. Kesakitan.

"Ndaa," katanya lemah. "Jangan tinggalkan aku."

Terkesiap, aku lalu memeluknya. Mencium keningnya. Di tempat yang sama dengan seseorang yang tadi memelukku.

Api menyala lebih terang. Lebih hangat. Ia datang, menggantikan yang pergi. Ia terang, menggantikan yang padam. Ia hangat, menggantikan yang dingin. Meskipun ia membawa luka, namun ia berusaha menyembuhkan. Ia akan jadi cahaya. Untukku. Hanya untukku. Dan ia berjanji takkan menghabisi dirinya sendiri untuk menerangi sekitarnya. Karna ia tau, aku akan kembali gelap saat ia terbakar habis dan padam.