Baru-baru
ini ada sebuah foto yang beredar di medsos dan sempat menggegerkan dunia
Pecinta Alam. Foto tersebut diambil dari sebuah koran harian dengan tajuk
LIFESTYLE yang menampilkan besar-besar gambar seorang wanita cantik berkostum
pendaki gunung dengan judul tulisan yang tak kalah besarnya, “PETIK EDELWEISS
UNTUK KEKASIH, RAYAKAN 17 AGUSTUS”. Berhubung itu hanyalah foto yang diambil
dari kamera hape dengan ukuran pixel yang tidak terlalu bagus, maka banyaklah
komentar-komentar negatif yang bermunculan. Isinya kurang lebih hujatan dan
makian. “cantik-cantik tapi kelakuannya menjijikkan,” kata salah seorang fesbuker. “Pecinta alam abal-abal. Pasti
kebanyakan nonton film itu.” Akhirnya, film yang diangkat dari buku best seller itu lagi yang disalahkan.
Padahal makna yang ingin disampaikan dari buku itu bukan hanya tentang
pendakian, tapi semangat dalam menggapai sesuatu. Contohnya menyelesaikan
skripsi. Contoh lainnya lagi menggapai hati orang yang dicintai.
Padahal,
jika para komentator itu mau mencoba melihat foto itu dengan lebih jeli,
tulisan yang tertera masih bisa dibaca, walaupun harus dengan bantuan zoom in ukuran super. Disamping foto
wanita cantik tersebut juga sudah terdapat catatan bahwa wanita cantik ini
hanyalah pengunjung toko outdoor yang sedang menjajal pakaian untuk mendaki
gunung. Dan yang sebenarnya membuat miris adalah kata-kata narasumber yang
ditulis dengan sangat frontal oleh si Jurnalis. Disebutkan bahwa narasumber itu
sering mendaki gunung karena menghabiskan momen di gunung sekarang sedang tren.
Contohnya momen tahun baru atau ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Kalau saya
pribadi mungkin akan menunggu saat hamil tua, lalu melahirkan disana, agar di
akte nanti tempat kelahiran anak saya terlihat mboish. Dan lagi, katanya narasumber itu sudah “menaklukkan”
sebelas gunung. Padahal gunung bukanlah calon mertua berkumis tebal dan berhati
keras yang harus ditaklukkan. Nah, kalau jenis orang yang seperti ini, monggo jika mau dikatain abal-abal.
Gunung
bukanlah sesuatu yang bisa ditaklukkan. Di film itu mungkin diceritakan kisah
yang indah tentang eksotisnya gunung tertinggi di pulau jawa tersebut yang
melebihi keeksotisan seorang Flo Shihombing si ratu pom Bensin. Orang biasa
seperti tokoh-tokoh di film itu saja bisa sampai puncak, rakyat jelata seperti
saya pasti bisa juga, donk? Wah, itu persepsi yang kurang benar, bro! Nah,
kalau pikirannya seperti itu, jangan heran bila suatu saat nanti Ranu Pane
dijadikan waterboomdan ranu Kumbolo
disediakan speedboat, karena gunung
tertinggi itu sudah jadi tempat wisata.Mereka mungkin tidak tau bahwa di puncak
sana, terdapat daerah bernama Blank 75, tempatnya para pendaki nyasar yang
biasanya kembali dengan menyandang gelar Almarhum, atau malah tidak ditemukan
sama sekali. Seperti kata Nagabonar, “matilah dia dimakan cacing!”. Belum lagi
jika terserang hipotermia, karena suhu di Ranu Kumbolo itu bisa mencapai minus.Alamak...
Yang
lebih menggemparkan lagi, narasumber itu mengatakan bahwa ada pendaki yang
memetik bunga Edelweiss untuk kekasihnya, romantis sekali. Weleh-weleh, itu namanya bukan romantis, tapi MIRIS! Nah, kalau
sudah begini, saya jadi ingin bertanya pada wartawannya. Apakah pendapat orang
harus ditulis sefrontal itu hingga menjadi Headline? Yang ditakutkan, orang
akan semakin berbondong-bondong untuk mendaki gunung dan memetik bunga yang
konon bersifat abadi itu. Padahal dalam kitab mbah Jambrong, si penjaga ponten
umum di pos pendakian, sudah dituliskan besar-besar : Leave Nothing but Foot Print, Kill Nothing but Times and Take Nothing
but Pictures. Mungkin hal ini juga yang menyebabkan demam selfie melanda tanah air, karena kita
tidak boleh mengambil apapun kecuali gambar.
Nah,
hikmah yang bisa dipetik dari foto ini, hati-hatilah dalam berucap. Cari tau
dulu kabar yang sebenarnya. Jangan asal menyimpulkan apa yang anda lihat,
padahal gambar dan berita disitu sangat berbeda. Pilihlah judul yang baik,
karena apa yang anda tulis bisa jadi trending
topic seperti mbak Flo Sihombing.
Waspadalah,
waspadalah.