Minggu, 14 September 2014

ketika mendaki gunung berubah menjadi lifestyle



Baru-baru ini ada sebuah foto yang beredar di medsos dan sempat menggegerkan dunia Pecinta Alam. Foto tersebut diambil dari sebuah koran harian dengan tajuk LIFESTYLE yang menampilkan besar-besar gambar seorang wanita cantik berkostum pendaki gunung dengan judul tulisan yang tak kalah besarnya, “PETIK EDELWEISS UNTUK KEKASIH, RAYAKAN 17 AGUSTUS”. Berhubung itu hanyalah foto yang diambil dari kamera hape dengan ukuran pixel yang tidak terlalu bagus, maka banyaklah komentar-komentar negatif yang bermunculan. Isinya kurang lebih hujatan dan makian. “cantik-cantik tapi kelakuannya menjijikkan,” kata salah seorang fesbuker. “Pecinta alam abal-abal. Pasti kebanyakan nonton film itu.” Akhirnya, film yang diangkat dari buku best seller itu lagi yang disalahkan. Padahal makna yang ingin disampaikan dari buku itu bukan hanya tentang pendakian, tapi semangat dalam menggapai sesuatu. Contohnya menyelesaikan skripsi. Contoh lainnya lagi menggapai hati orang yang dicintai.
Padahal, jika para komentator itu mau mencoba melihat foto itu dengan lebih jeli, tulisan yang tertera masih bisa dibaca, walaupun harus dengan bantuan zoom in ukuran super. Disamping foto wanita cantik tersebut juga sudah terdapat catatan bahwa wanita cantik ini hanyalah pengunjung toko outdoor yang sedang menjajal pakaian untuk mendaki gunung. Dan yang sebenarnya membuat miris adalah kata-kata narasumber yang ditulis dengan sangat frontal oleh si Jurnalis. Disebutkan bahwa narasumber itu sering mendaki gunung karena menghabiskan momen di gunung sekarang sedang tren. Contohnya momen tahun baru atau ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Kalau saya pribadi mungkin akan menunggu saat hamil tua, lalu melahirkan disana, agar di akte nanti tempat kelahiran anak saya terlihat mboish. Dan lagi, katanya narasumber itu sudah “menaklukkan” sebelas gunung. Padahal gunung bukanlah calon mertua berkumis tebal dan berhati keras yang harus ditaklukkan. Nah, kalau jenis orang yang seperti ini, monggo jika mau dikatain abal-abal.
Gunung bukanlah sesuatu yang bisa ditaklukkan. Di film itu mungkin diceritakan kisah yang indah tentang eksotisnya gunung tertinggi di pulau jawa tersebut yang melebihi keeksotisan seorang Flo Shihombing si ratu pom Bensin. Orang biasa seperti tokoh-tokoh di film itu saja bisa sampai puncak, rakyat jelata seperti saya pasti bisa juga, donk? Wah, itu persepsi yang kurang benar, bro! Nah, kalau pikirannya seperti itu, jangan heran bila suatu saat nanti Ranu Pane dijadikan waterboomdan ranu Kumbolo disediakan speedboat, karena gunung tertinggi itu sudah jadi tempat wisata.Mereka mungkin tidak tau bahwa di puncak sana, terdapat daerah bernama Blank 75, tempatnya para pendaki nyasar yang biasanya kembali dengan menyandang gelar Almarhum, atau malah tidak ditemukan sama sekali. Seperti kata Nagabonar, “matilah dia dimakan cacing!”. Belum lagi jika terserang hipotermia, karena suhu di Ranu Kumbolo itu bisa mencapai minus.Alamak...
Yang lebih menggemparkan lagi, narasumber itu mengatakan bahwa ada pendaki yang memetik bunga Edelweiss untuk kekasihnya, romantis sekali. Weleh-weleh, itu namanya bukan romantis, tapi MIRIS! Nah, kalau sudah begini, saya jadi ingin bertanya pada wartawannya. Apakah pendapat orang harus ditulis sefrontal itu hingga menjadi Headline? Yang ditakutkan, orang akan semakin berbondong-bondong untuk mendaki gunung dan memetik bunga yang konon bersifat abadi itu. Padahal dalam kitab mbah Jambrong, si penjaga ponten umum di pos pendakian, sudah dituliskan besar-besar : Leave Nothing but Foot Print, Kill Nothing but Times and Take Nothing but Pictures. Mungkin hal ini juga yang menyebabkan demam selfie melanda tanah air, karena kita tidak boleh mengambil apapun kecuali gambar.

Nah, hikmah yang bisa dipetik dari foto ini, hati-hatilah dalam berucap. Cari tau dulu kabar yang sebenarnya. Jangan asal menyimpulkan apa yang anda lihat, padahal gambar dan berita disitu sangat berbeda. Pilihlah judul yang baik, karena apa yang anda tulis bisa jadi trending topic seperti mbak Flo Sihombing. Waspadalah, waspadalah.