Senin, 04 Desember 2017

Lamaran (?)

Aku punya kekasih, masih awet sejak akhir 2012 yang diresmikan pada Januari 2013. Kekasihku masih sama seperti yang dulu itu. Pria dengan vespa yang lebih sayang mesin daripada pacarnya. Pria yang ngga pernah kasih cokelat atau boneka. Pria yang lebih sering kasih busi atau oli. Pria yang sampai saat ini masih selalu kucintai.

Ketika aku mengatakan akan resign pada November 2015, dia hanya diam. Bahkan ketika aku melangkahkan kakiku memasuki kereta yang membawaku ke Malang, dia menolak ikut. Dia memalingkan muka. Selama ini aku selalu merasa dia tidak peka, yang terjadi aku lah yang tidak peka. Aku tidak tau mengapa dia sangat tidak menyetujui keputusanku untuk resign dan bersenang-senang. Kupikir ini hanya soal uang. Ternyata ia berpikir jauh jauh jauh jaaaauuuuhhh lebih jauh daripada itu. Ini semua soal komitmen.

"Kita nikah aja!" katanya kala itu. Tegas, to the point, tanpa adegan berlutut sambil menggenggam tangan seperti di film-film romantis.

"maksudmu?"

"iya, kita nikah aja. daripada aku harus ngelihat kamu hidup nggembel gak jelas macam ini, mending kamu aku hidupun. Kita menikah."

Jawabanku? Hell, no! tentu saja ku tolak! Petualanganku baru saja dimulai dan dia mau memintaku untuk menetap bersamanya? No way!


Lalu pada suatu hujan di bulan Desember, ia memintaku sekali lagi, untuk pergi selangkah lebih maju menuju pelaminan.

"Aku bosan hidup di Jember," katanya dengan wajah serius. "Aku pengen pergi dari sini"

"mau kemana?"

"kemanapun!"

"Aku mau ke Jakarta kalau ada biaya. Kamu bisa ikut sama aku, kalo kamu mau"

"Ini bukan soal tamasya!"

"lalu?"

"aku pingin pindah untuk selamanya. Masalahnya, aku anak tunggal. Aku ngga akan bisa hidup menetap di luar kota, yang jauh dari orang tuaku, jika aku belum berkeluarga!"

"maksudmu?"

"Bulan april tahun depan ada acara Java Scooter Rendesvouz ke 10 di Bogor. Aku mau touring kesana. Menetap disana. Tapi syaratnya, aku harus berkeluarga. Menikah. Dan untuk urusan ini, cuma kamu yang bisa nyelametin aku."

"jadi kamu minta kita menikah dulu, terus bulan april kita touring ke Bogor dan menetap disana?"

Lelakiku mengangguk mantap. Untuk seorang pemimpi sepertiku, bisa kau bayangkan bagaimana bahagianya aku mendengar kata PINDAH. Jadi tanpa pikir panjang, aku akhirnya mengiyakan. hanya karna satu hal : TOURING.

Lalu ketika aku sampaikan pada ibuku, tentu saja beliau marah, lalu menangis. Ibu tidak ingin aku menikah dengan cara seperti ini. Pernikahan bukan tamasya, katanya. Bapakku, jangan ditanya, ternyata bapak lebih drama dari yang ku kira. keluarlah segala perhitungan BEP jika aku menjadi sarjana pengangguran lalu terjebak dalam situasi pernikahan. Tapi aku meyakini soal ini. Sangat yakin. Jadi di bulan pertama kalender masehi, lelakiku datang sendirian menemui bapak ibuku, yang lalu dijawab dengan meminta orang tuanya datang untuk menemui orang tuaku.

Dalam hitungan hari, orang tuanya datang ke rumahku. Tiba-tiba saja ini menjadi hal yang serius. Tanggal pernikahan ditentukan pada 7 Mei 2016. Alasannya sederhana : di tanggal itu banyak hari liburnya. 4 tanggal merah dalam 1 minggu. Luar biasa, kan?

Jadilah aku mengurus semuanya, karna kan aku pengangguran. Kupikir, petualanganku yang kali ini sudah waktunya diakhiri, berganti petualangan lainnya. Pernikahan kurasa bukanlah sesuatu yang menyeramkan, apalagi jika aku langsung pindah ke Bogor dengan vespa. Ha ha ha ha ha.

Dan sebelum statusku berubah, aku berpamitan untuk melakukan perjalanan terakhirku. JAKARTA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar