Senin, 04 Desember 2017

SARJANA : Catatan Seorang Penganggur (tanpa bir dingin) PART VI

Di bulan kedua kalender Masehi, aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Menuntaskan petualanganku sebagai seorang perempuan single disana. Rupanya jalan menuju Jakarta tidak semulus yang kukira. Porong sedang banjir kala itu. Jalur kereta Bangil - Surabaya tertutup. Apalah dayaku yang suda terlanjur membeli tiket Logawa jurusan jember - Lempuyangan yang kemudia dilanjur kereta Progo jurusan Lempuyangan - Senen dalam jeda waktu 30 menit. Aku hanya pasrah ketika Logawa dipindah ke Jalur selatan lewat Malang. Perjalanan terlambat hingga 5 jam. Ditambah jatah pop mie yang harusnya diberikan KAI di stasiun madiun sebagai tanda permintaan maaf tidak kunjung diberikan karena KEHABISAN. rasanya ingin ku cabik-cabik motto mereka yang berbunyi "kepuasan anda adalah kebanggaan kami".

Benar saja, begitu sampai di lempuyangan, jam menunjukkan pukul setengah 9 malam. Aku dalam keadaan lapar, haus, lelah dan bau, hanya pasrah ngemper di jalan menunggu temanku datang menjemput. Tuhan masih berbaik hati mengirim seorang teman untuk menampungku malam itu. Bayangkan apa jadinya jika tak ada satupun manusia yang bisa dihubungi, sedangkan seluruh tiket sudah penuh terbeli hingga 2 minggu kedepan. Mau kemana lagi aku?

dari temanku tadi, aku diberi tau untuk melanjtkan perjalanan via bus dari terminal Giwangan. Berangkat pukul 5 subuh, supaya tak terlalu malam sampai terminal kampung rambutan. Kuturuti saja sarannya. Ketika sampai di stasiun Giwangan pada pukul 5, bingunglah aku mencari bus yang harus ku naiki. Suasana di terminal ini beda betul dengan Bungurasih. Jadi aku menurut saja ketika seorang kondektur mengajakku masuk ke dalam bus nya hanya karna ia berkata bus ini akan melaju ke jakarta.

Keanehan mulai terasa ketika kondektur hanya meneriakkan kata "PURWOKERTO!". Jadi aku bertanya,

"pak, katanya ini bus ke Jakarta?"

"Mbak mau kemana?"

"Jakarta!"

"Oh,. ya bisa ke jakarta, tapi nambah, nanti oper"

"Lhah ini kemana?"

"Purwekerto"



BAJIGUUUUURRRRR !!!!


Aku menolak mentah-mentah. mau minta turun saat itu juga, tapi aku ngga tau jalan dan ngga tau ini ada dimana. jadi aku pasrah. Duduk diam selama 5 jam menuju Purwokerto. Mencoba menikmati sesuatu yang tak ingin kunikmati. Aku benci bau bus.

Sesampainya di purokerto, untuk menuju jakarta aku harus menunggu bus berangkat pukul satu. Jadilah berjam-jam aku menunggu disana. Karna uang pas-pasan, aku mengganjal perut hanya dengan menggelogok air mineral. Hingga tiba saat bus berangkat.

kali ini aku tidak tertipu lagi. Bus benar membawaku ke Jakarta lewat tol CIPALI. 12 jam aku terombang ambing diatasnya. Tapi akhirnya aku tiba juga. kakiku akhirnya menginjakkan kaki di Jakarta. Di tengah malam. Sendirian. Dengan baterai hape yang menipis. Dan kondisi keuangan yang ngga kalah miris.

Jakarta BANGSAT !


Parahnya, orang yang ku tuju tak kunjung menjawab telfonku. Seorang pria gondrong bertato yang memiliki kedai para pendaki yang akan ku tuju. Cobaan apalagi ini. Tapi Tuhan selalu memberi kemudahan di setiap cobaan. Tau-tau saja kawan vespa lamaku yang asli orang Klender menelfon. Puji Tuhan, aku diantarkan menuju Kedai (yang ternyata pemiliknya masih berteman dengan kawanku itu).

Tulisan ini jelek ya? Iya, karna aku menulisnya dini hari tanggal 4 desember 2017 berdasar ingatan yang masih tersisa. Untuk tulisan aslinya, ada dibawah ini. Kutulis pada februari 2016. Katanya, februari adalah bulan penuh cinta. Nyatanya, februari lebih banyak sakitnya !



SARJANA : Catatan Seorang Penganggur (tanpa bir dingin) PART VI
15 Februari 2016, Kedai Pendaki, Cawang, Jaktim.

Aku menulis catatan ini di atas wc jongkok yang ada di dalam kedai pendaki. Banyak yang bertanya dimana lokasi kedai pendaki saat aku share fotonya di facebook. Aku jawab saja di lengkung langit. Atau diantara ragam rupa warna yang terlihat. Kalau masih bingung carilah sendiri, bukankah hape jaman sekarang sudah canggih, huh?

Pemilik kedai ini namanya riky sirait. Aseli batak, tapi tampilannya macam orang timur dengan berbagai aksesoris dari tenun. Gondrong dan bertatto. Uda tua lagi, kepala 3. Tipeku banget kan? Orangnya tengil tapi baik hati. Kedainya macho, sama seperti orangnya. Dan jangan bertanya soal pacarnya yang vokalis band metal berkerudung. Aku yg perempuan saja bisa jatuh cinta, apalagi dia yang laki-laki.

Suasana kedai juga asik. Macho. Bekas bengkel dijadiin kedai dengan dinding bergambar nusantara, tenda dan pespa. Belum lagi sajian menunya. Buat orang jember macam saya yaa ini unik. Yang dateng kebanyakan orang2 dengan style outdoor. Barusan ada mbak2 yang masuk pake carrier. Wuidiiiih ngeriii. Mungkin mereka lagi briefing mau naik kemana. Atau barusan turun dari mana. Entahlah, tapi ku rasa saat memasuki kedai pendaki ini tempatnya seperti bukan di bumi. Tapi di planet namex. Sama seperti yang punya.

Si gondrong empunya kedai ini merintis usahanya mulai dari masih pake gerobak, pake tenda, sampe akhirnya jadi bangunan seperti ini. Pantang nyerah. Orangnya banyak bicara, karena memang banyak hal yang dia tau dan dia bagi sama orang macam kita. Pengalaman dia banyak, terutama soal fotografi dan explore daerah2 di Indonesia. Tapi dia bilang dia belum keliling Indonesia

"Kau tau, Indonesia itu luas. Kau ngga bisa bilang sudah keliling Indonesia hanya karna pernah melakukan perjalanan dari sabang sampai merauke. Indonesia bukan hanya itu. Dia punya ribuan pulau kecil2 yang sekalinya nyebrang butuh waktu berjam-jam."

Aku dan dua temanku duduk diam mendengarkan seperti murid TPQ yang mendengar ustadnya ceramah.

" Kau tau batasan Indonesia? Titik nol Indonesia itu bukan hanya di sabang! Perbatasan Indonesia bukan hanya dengan papua nugini atau malaysia saja. Di timur itu, dekat maluku, ada banyak pulau kecil2. Bahkan salah satunya berbatasan langsung dengan filipin ! Separuhnya masuk Indonesia, separuhnya lagi punya filipin."

Temanku melongo, "terus batas negaranya gimana bang? Pake patok?"

"Tidak ada. Tidak pake patok disana. Karna yang berlaku hukum adat. Hukum negara tidak dipakai. Kalo macam2 ketua adatnya nanti yang keluar, matilah kau!"

Subuh hampir tiba saat riky masih belum usai bercerita. Karna mata sudah segaris, kedua kawanku pamit tidur terlebih dahulu. Tinggal aku dan dia saja yang masih terjaga, meskipun sebenarnya aku sudah lelah juga. Kali ini dia bicara soal musik, yang ujung-ujungnya jadi membicarakan kekasihnya.

"Pacar aku itu vokalis band metal. Dia tetap berkerudung waktu lagi manggung. Dan kau tau pekerjaannya? Dia perawat! Dia bisa jadi lembut disini tapi berubah garang saat di panggung. Hanya saja nanti, kalo kita ditakdirkan menikah, aku ngga mau dia bekerja"

Aku langsung menoleh. Bagiku, bekerja ya g dilihat bukan uangnya, tapi passion nya. Iya ngga?

Lalu aku ingat percakapanku dengan Ita, pacar si riky.

"Kenapa ngga nyemplung ke dunia entertain aja, ta? Kenapa harus jadi perawat?"

"Aku memang suka musik metal. Aku suka tampil di panggung. Tapi aku juga suka pekerjaanku sebagai perawat. Menghadapi orang-orang dengan berbagai tipe."

Lalu ku lihat lagi si riky dan kedainya. Di tempat ini, manusia dari berbagai jenis juga berkumpul. Bahkan ada presenter salah satu acara jalan2 yang mampir kesini.

"Bang foto yuk", kata presenter itu. Ujang, si penjaga kedai kepercayaan riky, menolak. Kontan si perempuan cantik itu ngambek.

"Kok ngga mau foto ama saya? Abang ngga tau saya siapa?"

"Ngga tau"

"Saya presenternya acara jalan2 di tipi itu looh"

"Lah saya ngga pernah liat tipi tuh..."


Nah kan, tengil banget kan? Artis minta poto ditolak!


Kembali ke topik. Riky dan Ita adalah dua hal yang berbeda namun bisa hidup berdampingan. Dua pemuda bergelar sarjana. Yang satunya bekerja seperti orang normal dengan hobby lain yang berbeda 180 detajat. Sedangkan yang satunya berkarya dengan kreasinya. Karena hidup butuh makan, sedangkan mereka tidak takut lapar. Itulah yang mereka maknai dengan bekerja sambil berkarya.

Lalu aku melihat diriku sendiri. Sudah tiga bulan ini aku hidup seadanya dari tulisan-tulisan singkatku di media. Memang terkadang yang ku tulis berbeda dengan apa yang ingin ku sampaikan.

Aku menuruti media demi mengejar viewer. Mungkin aku belum dikatakan merdeka sebagai seorang freelance. Pengangguran. Tapi melihat orang-orang disini aku makin sadar untuk menjalani hal yang kau cintai. Maka disitu kamu tidak akan pernah benar-benar menjadi pengangguran


Jadi, apa passion mu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar